Battle of Surabaya vs Merah Putih One for All: Nasib Animasi Lokal yang Ironis

Battle of Surabaya vs Merah Putih One for All: Nasib Animasi Lokal yang Ironis
Film animasi Battle of Surabaya bisa dibilang salah satu karya paling ambisius yang pernah lahir dari Indonesia. Bayangin aja, dikerjain sama ratusan animator dari Yogyakarta, butuh waktu 3 tahun, biaya miliaran, sampai dapet dukungan teknis dari Disney Asia-Pasifik. Ceritanya ngangkat sejarah 10 November 1945, dicampur dengan tokoh fiksi kayak Musa si tukang semir sepatu. Hasilnya? Secara kualitas, ini animasi Indonesia yang bisa ngelawan film luar. Penghargaan internasional pun bejibun. Tapi anehnya, di negeri sendiri justru sepi.
Kenapa bisa gitu?
Promosi & Distribusi yang Nanggung
Film ini rilis 2015 pas HUT RI ke-70, tapi penayangannya terbatas. Nggak semua bioskop ambil, promonya pun kalah jauh sama film lokal komedi atau horor. Setelah tayang, malah nggak nongol di TV nasional atau Netflix lokal. Ironis, justru lebih cepet masuk ke Amazon UK dengan judul November 10th . Kabarnya, semua stasiun TV nasional menolak nayangin film ini karena dianggap nggak komersil.
Selera Pasar & Kebiasaan Nonton
Orang Indonesia lebih akrab dengan film live-action atau animasi impor. Tema perjuangan dalam animasi dianggap terlalu berat, padahal justru ini yang bikin filmnya beda. Tapi pasar bilang lain, akhirnya yang menang ya tontonan ringan atau hiburan instan.
Industri yang Belum Kuat
MSV Studio bisa bikin film sebesar ini dengan 150–180 animator itu udah luar biasa. Tapi sayangnya, industri animasi Indonesia belum punya sistem distribusi dan promosi yang kuat. Jadi meski kualitasnya oke, kalah pamor sama film lain yang punya jaringan besar.
Cerita Serius, Tapi Bikin Orang Mundur
Film ini gabungin sejarah asli (Insiden Hotel Yamato, Bung Tomo, Gubernur Suryo, dll.) dengan tokoh fiksi kayak Musa dan Yumna. Buat sebagian orang, ceritanya kerasa berat. Mereka lebih pilih animasi yang ringan ketimbang belajar sejarah lewat layar bioskop.
Prestasi di Luar Negeri
Padahal kalau soal prestasi, jangan ditanya. Battle of Surabaya menang Grand Prize Feature Film di Seoul International Cartoon and Animation Festival (2016) , Gold Remi Award di WorldFest-Houston (2016) , sampai Best Animation di Hollywood International Motion Pictures Film Festival (2018) . Intinya, di luar negeri malah dielu-elukan, di sini malah tenggelam.
Masuk ke Fenomena Merah Putih One for All
Sekarang lagi rame soal trailer Merah Putih One for All . Baru trailer aja udah jadi bahan obrolan, ada yang nungguin, ada juga yang nyinyir karena kualitas animasinya dianggap "burik". Judulnya sendiri juga bikin orang salah paham, karena ada embel‑embel One for All yang mengingatkan orang pada tagline lama SCTV: Satu untuk Semua . Mungkin maksudnya biar keren, tapi justru jadi bahan bercandaan netizen.
Bedanya jelas: Battle of Surabaya dulu dikerjain dengan serius, targetnya festival internasional. Sementara Merah Putih One for All baru sebatas percobaan, kelihatan pengin langsung viral lewat dunia maya. Sama‑sama animasi lokal, tapi cara jalan mereka beda banget.
Ironi Animasi Lokal
Kalau dipikir, udah 10 tahun sejak Battle of Surabaya tayang. Harusnya animasi Indonesia makin naik kelas. Tapi kenyataannya, kita masih berputar di masalah yang sama: promosi minim, dukungan industri tipis, dan selera pasar yang lebih pilih hiburan ringan. Padahal ada potensi besar kalau animasi lokal bisa masuk ke platform digital kayak Netflix, Disney+, atau Amazon Prime. Dengan begitu, film kayak Battle of Surabaya bisa hidup lagi, nggak cuma jadi kenangan di festival luar.
"Animasi lokal punya potensi besar, tapi tanpa dukungan dan promosi yang tepat, karya terbaik pun bisa tenggelam."
Jadi intinya, baik Battle of Surabaya maupun Merah Putih One for All nunjukin dua wajah animasi Indonesia. Yang satu ambisius tapi kurang dapet dukungan di rumah sendiri, yang satunya masih berupa trailer tapi udah rame jadi bahan bercandaan. Sama‑sama jadi sorotan, tapi dengan cara yang berbeda. Ironis, tapi itulah realita animasi lokal kita hari ini.