Teror Pinjol, Diamnya Pemerintah, dan Buntunya Perlindungan Nasabah

Teror Pinjol, Diamnya Pemerintah, dan Buntunya Perlindungan Nasabah
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena pinjaman online (pinjol) ilegal telah menjelma menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Banyak warga yang awalnya terdesak kebutuhan ekonomi akhirnya terjerat utang dengan bunga mencekik, syarat tak transparan, dan metode penagihan yang brutal. Namun yang lebih menyakitkan lagi, korban tak hanya ditekan oleh pinjol, tapi juga dijatuhkan secara sosial oleh sesama warga. Sayangnya, pemerintah masih saja tampak pasif, sementara perlindungan terhadap nasabah masih jauh dari harapan.
Teror yang Sistematis dan Kejam
Teror pinjol bukan sekadar soal tagihan yang menumpuk, melainkan praktik penagihan yang merusak martabat dan mental korban. Penyebaran data pribadi, penghinaan, pelecehan digital, bahkan ancaman fisik sering dialami korban. Mereka diteror lewat WhatsApp, ditelepon ratusan kali, bahkan disebarluaskan wajah dan nama mereka dengan cap "penipu" atau "tidak bayar utang."
Tak sedikit pula yang didatangi ke rumah, kantor, bahkan dikirimi karangan bunga palsu berisi aib yang menyudutkan. Ini semua dilakukan oleh pinjol ilegal—tanpa izin resmi, tanpa etika, dan tanpa takut hukum.
Korban yang Dijadikan Tertuduh
Lebih menyedihkan, di tengah penderitaan korban, banyak orang justru tampil sebagai hakim moral. Kalimat seperti “salah sendiri berani ngutang,” atau “makan enak, giliran bayar ngilang” sering kali dilemparkan di media sosial dan grup percakapan. Bahkan, mereka yang mencoba membantu korban dengan menyarankan untuk galbay (gagal bayar) sebagai bentuk perlawanan terhadap pinjol ilegal, kerap dituduh menyebarkan kejahatan.
Padahal, tidak semua orang yang terjerat pinjol adalah pelaku gaya hidup konsumtif. Banyak dari mereka yang meminjam untuk biaya berobat, sekolah anak, atau bertahan hidup di tengah krisis. Mereka bukan penjahat, mereka adalah korban sistem ekonomi yang timpang, ditambah regulasi negara yang belum berpihak.
Awas, Bisa Dipidana!
Perlu ditegaskan bahwa menjatuhkan korban pinjol secara sosial, menyebarkan aib, mengajak gagal bayar secara massal tanpa tanggung jawab hukum, maupun melakukan doxing atau pembunuhan karakter di media sosial bisa dikenakan pidana. Pasal-pasal dalam UU ITE, KUHP, serta UU Perlindungan Data Pribadi dapat digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang memperkeruh keadaan.
Demikian juga terhadap "pembenaran moral" dari orang-orang yang merasa suci, tapi justru mempermalukan korban di ruang publik—baik secara langsung maupun lewat sindiran. Ini bukan hanya tindakan tidak etis, tapi juga dapat dikategorikan sebagai perundungan psikologis.
Negara yang Masih Absen
Di tengah kekacauan ini, negara seolah hanya menjadi penonton. Otoritas seperti OJK, Kominfo, dan kepolisian memang sesekali bertindak, namun langkah-langkah itu belum sistematis dan berkelanjutan. Hukum belum cukup tajam untuk menindak pelaku kekerasan digital dari pinjol ilegal.
Yang lebih menyedihkan, belum ada payung hukum yang benar-benar melindungi nasabah secara komprehensif. Sementara itu, aplikasi pinjol ilegal tumbuh cepat dan menyebar luas, seperti virus yang menulari masyarakat kelas bawah tanpa perlawanan berarti.
Solusi Mendesak
Untuk menghentikan penderitaan ini, diperlukan langkah strategis dan terstruktur:
- Pembubaran Masif Pinjol Ilegal: Kominfo dan OJK harus bekerja sama menutup jalur distribusi pinjol ilegal dan memutus ekosistemnya dari hulu ke hilir.
- Pendidikan Publik dan Penegakan Hukum: Masyarakat harus diberikan pemahaman mengenai hak-hak digital mereka, dan aparat hukum harus lebih proaktif menindak pelaku intimidasi, termasuk masyarakat yang menyebarkan fitnah terhadap korban.
- Platform Perlindungan Nasabah: Diperlukan saluran resmi dan cepat tanggap untuk korban melapor, mendapatkan pendampingan hukum, serta perlindungan data pribadi.
- Sanksi Tegas untuk Penyebar Aib dan Perundung: Penegakan hukum tidak hanya diarahkan pada pelaku pinjol, tapi juga pada pihak-pihak yang mempermalukan korban di ruang publik.
Penutup
Teror pinjol adalah luka kolektif di tubuh masyarakat. Diamnya negara adalah bentuk pengabaian terhadap penderitaan warganya sendiri. Dan stigma sosial yang dilekatkan kepada korban adalah bentuk kekerasan yang sama parahnya. Sudah saatnya negara hadir secara utuh: menindak tegas pelaku, melindungi korban, dan menegur mereka yang merasa suci tapi ikut menindas yang lemah. Karena di balik utang itu, ada tangis, ada harapan yang nyaris padam, dan ada jeritan yang menanti untuk didengar.